JAKARTA. HarimauSumateraBersatu.com - Usulan Presiden Prabowo Subianto agar kepala daerah dipilih oleh DPRD dan bukan oleh rakyat memicu perdebatan di kalangan partai politik. Para pakar mengatakan, hal itu akan jadi kemunduran bagi demokrasi dan tidak bisa menghilangkan risiko korupsi.
Partai-partai politik berbeda pendapat soal apakah gubernur, wali kota dan bupati akan terus dipilih oleh rakyat melalui Pemilihan Kepada Daerah (Pilkada) atau dipilih oleh anggota dewan.
Perdebatan ini muncul setelah pada 5 Desember lalu Prabowo mengusulkan agar pilkada dihapuskan dan diganti pemilihan oleh DPRD.
"Saya mengajak kekuatan politik. Ayo marilah kita berani memberi solusi kepada rakyat kita, demokratis, tetapi jangan buang-buang uang," ujar Prabowo dalam perayaan ulang tahun ke-61 Partai Golkar di Jakarta.
"Kalau sudah sekali memilih DPRD kabupaten, DPRD provinsi, ya kenapa tidak langsung saja pilih gubernurnya dan bupatinya, selesai."
Tahun lalu Indonesia menggelar dua pemilu: Pemilihan presiden beserta anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota pada bulan Februari; dan pilkada pada November untuk memilih 37 gubernur, 415 bupati, dan 93 wali kota.
Prabowo ingin menghapus pilkada. Namun para pakar memperingatkan bahwa langkah itu bisa menyeret Indonesia kembali ke masa Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto dengan tangan besi selama lebih dari tiga dekade hingga 1998.
Pada rezim Orde Baru yang ditandai dengan kendali militer atas warga sipil, rakyat hanya boleh memilih satu dari tiga partai yang disetujui negara — Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Rakyat tidak punya suara dalam menentukan pemimpin provinsi maupun daerah, yang ketika itu ditunjuk oleh pemerintah pusat.
Guntur Romli, juru bicara Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mengatakan partainya masih mengkaji usulan presiden, namun cenderung mendukung pilkada langsung.
“Pemilihan kepala daerah oleh DPRD akan menimbulkan pertanyaan soal legitimasi karena masyarakat tidak merasa merekalah yang memilih pemimpin daerahnya,” kata Guntur.
PDIP saat ini adalah partai terbesar di DPR, menguasai 110 dari 580 kursi. Partai itu menjadi satu dari hanya dua partai yang berada di luar koalisi pemerintahan Prabowo.
Golkar, partai terbesar kedua di parlemen dengan 102 kursi dan bagian dari koalisi Prabowo, mendorong penghapusan pilkada langsung.
Wakil ketua umum Golkar, Ahmad Doli Kurnia, mengatakan kepada CNA bahwa partainya telah menghabiskan satu setengah tahun terakhir mengkaji “berbagai opsi untuk menyempurnakan sistem politik Indonesia”.
“Di antara opsi itu adalah menyerahkan pemilihan kepala daerah kepada DPRD. Namun kami juga mempertimbangkan opsi campuran yang menggabungkan unsur pemilihan tidak langsung (ala Orde Baru) dengan sistem langsung yang berlaku saat ini,” ujarnya.
Mardani Ali Sera, anggota DPR dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), mengatakan partainya tengah mencari jalan tengah dengan memperbolehkan sebagian posisi kepala daerah dipilih langsung dan sebagian lainnya ditunjuk DPRD.
"Pilkada langsung bisa memunculkan mutiara daerah walau berasal dari partai kecil atau NGO. Bagus untuk daerah perkotaan tetap pilkada langsung. Dan di rural (pedesaan) bisa dipertimbangkan melalui DPRD," kata dia dikutip dari CNN Indonesia pada 8 Desember lalu.
Mardani menilai biaya pemilihan wali kota di wilayah yang kecil lebih murah daripada pilkada di kabupaten yang penduduknya tersebar dan banyak desanya sulit diakses.
PKS menguasai 53 kursi di parlemen dan menjadi bagian dari koalisi Indonesia Maju yang dipimpin Prabowo.
Prabowo berpendapat bahwa pilkada langsung — yang dimulai sejak 2005 — menjadi “sumber korupsi yang sangat besar” dan menguntungkan kandidat dengan dana kampanye besar.
Selain itu, penyelenggaraan pilkada juga membuat negara harus mengeluarkan anggaran yang luar biasa.
Pilkada November 2024 yang pertama kalinya digelar serentak secara nasional telah menghabiskan anggaran hingga Rp41 triliun, meski seluruh 545 pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota dilakukan dalam satu hari pemungutan suara.
Menurut Prabowo, dana sebesar itu bisa dialokasikan untuk keperluan lain. Prabowo sendiri sebelumnya telah menerapkan sejumlah langkah penghematan untuk membiayai berbagai program ambisius yang berpotensi membuat belanja negara melampaui penerimaan.
Per November, defisit anggaran 2025 telah mencapai Rp560 triliun atau 2,35 persen dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa pada Senin mengakui tidak bisa memastikan defisit 2025 tetap di bawah batas 2,78 persen PDB yang ditetapkan dalam kerangka anggaran.
DPR dijadwalkan mulai membahas revisi aturan pemilu pada tahun depan, setelah Mahkamah Konstitusi (MK) pada Juni 2025 memutuskan pemilu legislatif nasional dan daerah digelar terpisah mulai 2029.
Sebuah panitia khusus (pansus) DPR yang akan menyusun rancangan undang-undang pemilu diperkirakan terbentuk pada Januari tahun depan, kata politisi partai Golkar yang menjabat Wakil Ketua Komisi II DPR untuk urusan dalam negeri, Arse Sadikin Zulfikar, kepada The Jakarta Post.
MENGHAPUS PILKADA LANGSUNG “BUKAN SOLUSI”
Para pakar menilai manfaat pilkada langsung jauh lebih besar daripada biayanya, dan penghapusannya tidak serta-merta akan menekan risiko korupsi.
“Demokrasi tidak boleh dikompromikan hanya karena alasan finansial,” ujar Hendri Satrio, pengamat politik dari Universitas Paramadina, Jakarta.
Indonesia mulai membenahi tata kelola pemilu setelah Soeharto lengser. Pemilihan presiden langsung pertama digelar pada 2004, lalu setahun kemudian, pilkada langsung pertama dilaksanakan di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
“Usulan kembali ke sistem (pemilihan) melalui DPRD merupakan kemunduran bagi ekosistem demokrasi Indonesia,” kata Haykal, peneliti di Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
Haykal juga menolak anggapan bahwa pilkada langsung telah menciptakan korupsi.
“Biaya besar muncul dari pendanaan politik 'gelap', bukan dari pelaksanaan pemilihan langsung,” ujarnya.
Partai politik, lanjut Haykal, justru harus bertanggung jawab bila calon yang mereka usung terlibat suap atau praktik politik uang. Mereka juga perlu lebih ketat dalam menyeleksi kandidat agar hanya sosok yang berkomitmen memberantas korupsi yang maju.
Menghapus pilkada langsung berarti kembali ke mekanisme pemilihan yang lebih tertutup, lebih rentan korupsi dan suap, kata Haykal.
“Selama karakter politik partai tidak berubah, mengutak-atik sistem hanya akan memindahkan biaya politik gelap ke DPRD.”
Pakar lain mengatakan, langkah tersebut akan menjadi pukulan telak bagi demokrasi Indonesia karena menyerahkan hak memilih kepada segelintir elite legislatif, bukannya kepada rakyat.
“Transaksi politik akan semakin tinggi, dan kepala daerah akan tersandera oleh kepentingan politik elite DPRD yang memilih mereka,” ujar Titi Anggraini, pakar hukum pemilu dari Universitas Indonesia.
Ia mengatakan pemerintah seharusnya berfokus pada peningkatan kualitas dan integritas pilkada melalui pengawasan yang lebih ketat atas sumber dan penggunaan dana kampanye, serta penegakan hukum yang lebih tegas.
“Menghapus pilkada langsung bukan solusinya,” kata Titi.
SEDANG TES OMBAK?
Para pakar juga menilai penghapusan pilkada langsung dapat mengarah pada konsentrasi kekuasaan di tingkat pusat.
Dalam Pilkada November 2024, terdapat sejumlah kontestasi di mana partai-partai pendukung Prabowo terpecah.
Di Jawa Barat, misalnya, koalisi terbelah menjadi tiga kubu, dengan PKS dan PKB memilih mengusung calon masing-masing. Sementara itu di Banten, Golkar berpisah dari koalisi pemerintah dan membentuk aliansi dengan PDIP.
“Potensi perpecahan semacam itu bisa diminimalkan bila pilkada langsung dihapus,” kata Kunto Adi Wibowo, pakar ilmu komunikasi dari Universitas Padjadjaran.
Perlu dicatat, Prabowo dan Partai Gerindra sudah melontarkan berbagai gagasan pilkada tidak langsung sejak 2014, jauh sebelum ia menjabat presiden pada 2024.
Dengan mayoritas partai besar kini di kubunya, penghapusan pilkada langsung akan membuat Prabowo sangat dominan dalam penentuan kepala daerah, ujar Kunto.
“Semuanya akan tersentralisasi,” ujarnya.
“Semua akan tunduk pada kehendak dan arahan koalisi. Artinya, kebijakan dan programnya tak akan mendapat tantangan di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota … Konsekuensinya, ruang masyarakat untuk menentukan arah pembangunan daerah akan sangat kecil.”
Dengan supermayoritas di parlemen, koalisi Prabowo secara teori bisa dengan mudah mengesahkan revisi Undang-Undang Pilkada. Namun dalam praktiknya, para ahli menilai tidak mudah memastikan seluruh anggota koalisi mendukung usulan tersebut.
“Bagi partai-partai kecil, pilkada langsung telah memberi arena persaingan yang lebih setara dengan partai besar,” kata Hendri dari Universitas Paramadina.
Ia menambahkan, Prabowo tampaknya belum sepenuhnya serius mendorong perubahan ini di parlemen.
“Saya kira ia sedang 'testing the waters' (tes ombak), ingin melihat bagaimana respons publik — dan yang lebih penting, respons koalisinya. Jika penolakannya kuat, ia tidak akan melanjutkan rencana itu.”
Walau revisi UU pemilu masuk agenda DPR tahun depan, namun pembahasannya biasanya memanas dan memakan waktu lama karena partai-partai ingin mempertahankan klausul yang menguntungkan mereka.
Titi dari Universitas Indonesia mengatakan bahwa sekalipun DPR sepakat menghapus pilkada langsung, organisasi masyarakat sipil masih bisa mengajukan gugatan ke MK untuk mempertahankannya.
Menurutnya, MK telah menolak berbagai upaya untuk menghapus pilkada langsung dan berkali-kali menegaskan prinsip bahwa kepala daerah harus dipilih rakyat.
Jika upaya hukum tersebut gagal, Titi memperingatkan, publik bisa bereaksi.
“Jika prinsip-prinsip demokrasi dilemahkan, maka kepercayaan publik akan terkikis dan dapat memicu mobilisasi massa dari rakyat yang merasa tersisih oleh politik yang digerakkan elite,” kata Titi.